Get me outta here!

Rabu, 21 Agustus 2013

Menyelamatkan Dunia ala Anak-anak





Judul: Judy Moody Menyelamatkan Dunia.
Penerbit: Gramedia
Pengarang: Megan McDonald
Ilustrasi: Peter Reynolds
Bahasa : Indonesia
 
Judi Moody suka sekali dengan plester  Crazy Straps yang juga sedang menyelenggarakan lomba mendesain sendiri  plestermu. Tentu saja Judy dan adiknya  mengikuti lomba tersebut. Judy dengan desain selamatkan bumi dan adiknya dengan desain kelelawar.
Ketika pelajaran Sains tiba, Mr Tody menjelaskan tentang hal-hal yang mengerikan dan menyedihkan yang dilakukan manusia terhadap hutan hujan. Pelajaran itu amat terserap oleh Judy dan akhirnya ia praktekkan itu di rumah. Ia tidak suka dengan anggota keluarganya yang menggunakan barang-barang yang menyakiti bumi seperti permen karet, kopi, kertas belanjaan. Ia membuang semuanya saat penghuni rumah terlelap  yang menimbulkan kegaduhan di dapur. Kegaduhan itu pun membuat bangun seluruh penghuni rumah. Melihat tingkah Judy, mereka tidak suka dan sedih karena barang-barang yang dibuang.
Tindakan Judy tidak berhenti disitu, saat setelah pelajaran sains lagi yang membahas mengenai pensil-pensil yang terbuat dari pohon dari hutan hujan yang ditebang, Judy mengambil semua pensil teman-temannya saat jam istirahat. Tentu saja kemudian ketahuan oleh semua orang. Disitulah awal mula gerakan menyelamatkan dunia Judy dan kawan-kawannya. Mereka berpikir bahwa mereka tetap membutuhkan pensil meskipun sebenarnya itu akan menyakiti bumi sehingga kita harus menggunakannya secara bijak dan ikut serta dalam menanam pohon untuk hutan hujan. Judy tidak memenangkan perlombaan desain plester yang disukainya, namun ia mendapatkan piala jerapah karena telah menyelamatkan bumi.
Buku ini mengajarkan agar anak turut peduli pada bumi namun jangan ditelan mentah-mentah informasi yang didapatkan dan itulah yang diajarkan dari tokoh Judy.
Dengan adanya buku ini menunjukkan jika menyelamatkan bumi tidak hanya melalui aksi saja namun melalui tulisan atau bacaanpun bisa turut menyelamatkan bumi. Dan itulah yang dilakukan Megan McDonald selaku pengarang buku ini. Tak hanya tulisan saja namun buku ini juga disertai ilustrasi yang lucu, menarik dan sesuai dengan ceritanya. (Fafa)

Rabu, 14 Agustus 2013

Belajar Mencoret, Belajar Berekspresi



Judul         : Drawing for Artistically Undiscovered
Pengarang : Quentin Blake dan John Cassidy
Penerbit    : Klutz
Tahun        : 1999
Anak-anak biasanya senang sekali mencorat-coret sesuatu, mungkn sekedar garis,lingkaran atau gambar-gambar lainnya. Kita seringkali mengatakan” gambarnya jelek”, “binatang apa ini?tidak mirip” atau “tidak rapi” dan terus memaksakan pandangan kita pada anak-anak. Tanpa sadar kita mungkin membatasi daya imajinasi dan kesenangan anak dalam menggambar. Menggambar tidak selalu harus sangat mirip dengan objek aslinya atau mengikuti pakem tertentu, yang terpenting, gambar itu mampu menyampaikan hal.Hal itulah yang ingin disampaikan oleh “Drawing for the Artistically Undiscovered”

 Pengarang memberikan contoh di halaman kiri, sedangkan di kanan kita dapat berlatih memberi ekspresi

Buku ini berbeda dengan buku-buku melatih kemampuan gambar yang lain. Disini, anak diajarkan berbagai macam dasar menggambar (pencahayaan, perspektif, anatomi manusia, anatomi hewan dan lain-lain) tanpa membatasi imajinasinya. Buku ini juga menyajikan ruang kosong  sebagai tempat  berlatih menirukan contoh atau sebuah gambar belum lengkap untuk kemudian dilengkapi pembaca buku dengan imajinasinya. Dari proses menggambar yang sederhana dan kreatif yang tersaji dalam buku ini, kita dapat mengembangkan pikiran kreatif pada anak. Buku ini memang ditujukan untuk anak-anak, tapi bisa juga dibaca untuk orang dewasa. Akhir kata, selamat membaca dan berlatih menggambar!

Jumat, 09 Agustus 2013

Mencari Jati Diri lewat Buku Anak



Sebelum menyambut datangnya libur Lebaran, para relawan BM mengadakan buka bersama sambil nonton film bareng dan ngobrol tentang buku anak. Ada dua buku anak internasional yang menarik untuk dijadikan bahan obrolan bagaimana melihat masyarakat di suatu tempat dari buku anak yang mereka tulis.

Dua buku anak tersebut berjudul The New Voyage of Columbus dan The People Could Fly. Buku  The New Voyage of Columbus menceritakan bagaimana ekspedisi Colombus saat menemukan Benua Amerika. Kemudian, buku The People Could Fly menceritakan kisah orang-orang Afrika yang ingin terbang saat sedang naik kapal dari Afrika menuju Amerika. Penulis kedua buku ini adalah sama-sama orang Amerika Serikat. Yang membedakan kedua buku ini adalah point of view penulisnya. Penulis buku The People Could Fly adalah Virginia Hamilton orang kulit hitam, dan penulis The New Voyage of Columbus adalah Stacie Strong, orang kulit putih.

Kedua buku ini mengungkapkan dua hal yang sangat bertolak belakang. The New Voyage of Colombus, lebih banyak menggambarkan kehebatan yang dilakukan oleh orang kulit putih saat menemukan Amerika. Tak ada cerita tentang penderitaan/ penindasan bangsa kulit putih kepada bangsa kulit berwarna. Semua kelihatan "baik-baik" saja. Sedangkan di buku The People Could Fly mengungkapkan perbudakan yang dilakukan bangsa kulit putih terhadap orang Afrika Amerika (negro) di masa lalu. Meski dijajah, orang-orang kulit hitam ini masih punya harapan yang digambarkan lewat keinginan bisa terbang tadi. Mereka yakin, suatu saat nanti mereka akan bangkit. Jauh berbeda dari buku tentang Columbus tadi yang mengagung-agungkan 3G (Gold, Glory and Gospel).



The Voyage of Columbus, penuh dengan ilustrasi menarik, tapi tidak menceritakan kenyataan. (google image)
bagian dalam The Voyage of Columbus: orang kulit putih tampak "baik" dengan orang kulit berwarna (google image)


The People Could Fly karya Virginia Hamilton (google image)




 
orang-orang yang ingin terbang, merdeka, tak mau dijajah (google image)


Di Amerika Serikat, orang-orang kulit hitam membentuk komunitas sendiri. Orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat memang memiliki solidaritas yang tinggi. Mereka tidak mau kalau anak cucu mereka hanya mengetahui sejarah bangsa Amerika dari perspektif bangsa kulit putih saja. Karena itulah, mereka berusaha mengumpulkan ingatan akan masa lalu dari cerita kakek nenek mereka seperti mitos dan legenda. Cerita dalam buku anak diturunkan dari cerita masyarakat seperti apa. Apakah dia dari masyarakat yang tertindas atau masyarakat yang seolah-olah membawa kesuksesan/ kehebatan? Dari cerita-cerita yang dikumpulkan ini, orang kulit hitam ingin agar keturunan mereka menyadari tentang jati diri mereka sebenarnya, bahwa dulu nenek moyangnya adalah budak. Cerita tersebut kemudian jadi penyemangat hidup keseharian mereka: orang kulit hitam tidak boleh kalah dari bangsa kulit putih!  

Virginia Hamilton, meski mengenyam pendidikan tinggi tapi tidak mau mengingkari akan jati dirinya dan berjuang untuk kepentingan orang kulit hitam (google image)
 
Selain ngobrol tentang dua buku anak tadi, teman-teman relawan juga menonton film dokumenter berjudul Riding the Tiger 2: Freedom of Death karya sutradara film dokumenter asal Australia, Curtis Levy. Film ini memang tidak untuk anak-anak dan tidak ada cerita anak di sana. Namun, cerita di film ini intinya sama dengan buku anak The People Could Fly, tentang bangsa kulit berwarna yang dijajah oleh bangsa kulit putih. Di film ini, yang muncul adalah cerita tentang orang-orang Indonesia yang hidup di masa Orde Baru dan sempat mengalami didikan semasa pendudukan Jepang. Di sini, teman-teman relawan bisa melihat bagaimana anak-anak ditempatkan di struktur masyarakat. Anak-anak adalah bagian yang menyusun masyarakat, yang tentunya berbeda dari periode ke periode. Bagian anak-anak inilah yang seringkali “dihilangkan” atau “diingkari”. Padahal melupakan masa lalu tentu sama saja dengan melupakan jati diri kita, siapa kita sebenarnya. (*) 

Testimoni (Fafa, relawan BM, UIN Sunan Kalijaga angkatan 2012)

"Sore itu dengan angin yang cukup dingin, pertemuan bulanan kami dimulai. Dimulai dengan disajikannya dua buah buku bergambar apik serta pop up yang menarik bertemakan sejarah dengan latar belakang waktu dan tempat yang sama namun dengan sudut pandang pengkisahan yang berbeda. Salah satu buku itu adalah "People Could Fly" sebuah buku yang mengkisahkan penduduk Afrika yang bisa terbang. Masyarakat Afrika dahulu pernah dapat terbang, mereka juga mengakui jika mereka pernah menjadi buruh jajahan.
Dari prolog keadaan sejarah yang seperti itu, mengantarkan pada sebuah film karya orang Australia mengenai sejarah kemerdekaan Indonesia. Tak hanya menghadirkan kisah dari orang yang memerintah Indonesia namun juga menghadirkan kisah dari beberapa masyarakat lokal. 
Seperti apa yang disajikan kedua buku tersebut yang dapat dipetik adalah untuk memperoleh sebuah informasi sebaiknya memang menggunakan lebih dari satu sudut pandang agar jika harus membela tidaklah membela yang salah. Dan jika ingin menceritakannya kembali tidak menceritakan kisah yang mendiskriminasi. Mengesankan sekali ketika tahu dua sudut pandang dalam sebuah sejarah. Sejarah memang hanyalah masa lalu.Namun sebuah perjuangan dalam masa lalu hingga kini dapat merasakan kemenangan, kemerdekaan bagi sebuah negara tidak hanya sekedar masa lalu."
 
nobar dan bukber di BM

Dari film dokumenter Riding the Tiger 2: Death of Freedom
Dari film dokumenter Riding the Tiger 2: Death of Freedom;
Masihkah kita mengingkari jati diri dan masa lalu bangsa kita yang pernah dijajah oleh bangsa kulit putih?