Get me outta here!

Sabtu, 22 Desember 2012

Pancatantra: Kebijaksanaan untuk 3 Anak Raja yang Bodoh

 Salah Satu Relief Pancatantra di Candi Mendut

PENDAHULUAN
Pernahkah kita melihat orang yang amat sangat bodoh? Tampaknya orang yang bodoh adalah orang yang tidak dapat mengerti suatu hal, seberapapun kerasnya kita menjelaskan. Tapi tunggu dulu, orang itu belum tentu tidak mengerti karena mereka memiliki kekurangan untuk memahami, tapi bisa saja salah kita yang menjelaskan terlalu rumit,teknis ilmiah dan lain sebagainya. Lalu bagaimana? Jelaskan saja menggunakan contoh yang dapat dilihat pada kehidupan sehari-hari! Hal tentang mengajarkan kebijaksanaan pada orang bodoh inilah yang menjadi pembuka pada rangkaian kisah Pancatantra.


SEKILAS PANDANG

Alkisah hidup seorang Raja di India dengan kerajaannya yang luas dan kekyaan yang amat berlimpah. Akan tetapi, sang Raja kini sudah beranjak tua dan perlu memikirkan penerusnya. Harapannya ada pada 3 putra mahkota. Sayang, ketiga putra mahkota itu bodoh. Guru dan orang pintar dari segala penjuru India sudah berdatangan untuk mengajar para putra mahkota. Semua usaha itu tampak sia-sia, hingga datang seorang pendeta Hindu yang bersumpah mampu mengajarkan kebijaksanaan pada para putra mahkota dalam waktu 6 bulan!Betapa percaya diri pendeta itu.
Sang pendeta kemudian mengajarkan Pancatantra untuk para putra mahkota. Pancatantra merupakan kumpulan cerita fable yang mengajarkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.Pancaantra dibagi menjadi lima kisah utama yang mengajarkan lima macam hal yaitu : Retaknya Persahabatan, Membina Persahabatan, Ikhtiar dan Siasat, Kehilangan Keberuntungan, dan Ceroboh. Setiap kisah utama terjalin dari bermacam kisah dari yang terpendek sebanyak, 5 kisah hingga yang terpanjang mencapai 30 kisah.

SEJARAH DAN PENYEBARAN
Pancatantra merupakan kumpulan cerita yang saling terkait satu sama lain, dalam bentuk cerita berangka. Para ahli memperkirakan cerita-cerita ini dituliskan pada 3 abad sebelum masehi. Sumber cerita-cerita ini adalah cerita lisan yang beredar di masyarakat .
Pancatantra yang bentuk aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta ini, mungkin adalah satu-satunya karya sastra kuno yang paling luas penyebarannya dan paling banyak diterjemahkan serta digubah di seluruh dunia. Ada kurang lebih 200 versi dalam 50 bahasa. Versi-versi ini tersebar dari Indonesia di ujung timur sampai Islandia di ujung barat Dunia Lama. Karya sastra ini tentu banyak mengalami perubahan-perubahan dalam proses alihbahasa dan penggubahan ini.
Versi-versi Pañcatantra ini tersebar luas di Dunia Lama, yaitu Asia, Timur-Tengah (termasuk Afrika Utara) dan Eropa. Selain diterjemahkan dalam banyak bahasa-bahasa di India, dalam perjalanannya ke Barat karya sastra ini diterjemahkan dalam antara lain bahasa Parsi, bahasa Yunani, bahasa Aram, bahasa Arab, bahasa Turki dan banyak bahasa Eropa Barat seperti bahasa Perancis dan bahasa Belanda.
Bahkan di Persia, karya sastra ini diterjemahkan dua kali, pertama kalinya dalam bahasa Parsi kuna atau bahasa Pahlevi oleh Burzoe, seorang tabib raja Persia, Syah Anusyirwan, pada tahun 672 Masehi dari bahasa Sanskerta. Terjemahan Parsi ini memiliki judul Karataka wa Damanaka dan diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani (bahasa Aram), lalu dari bahasa Suryani ke bahasa Arab. Gubahan dalam bahasa Arab ini sekarang disebut cerita Kalilaq wa Damanaq atau hikayat Kalilah dan Daminah. Dari versi Arab ini dibuatkan lagi sebuah terjemahan dalam bahasa Parsi dan dari bahasa ini diterjemahkan ke bahasa Turki. Terjemahan bahasa Turki ini penting sebab versi inilah yang dibawa ke Eropa Barat .
Terjemahan bahasa Melayu bersumber pada 2 karya terjemahan. Sumber pertama dari bahasa Parsi (Persia), sedangkan sumber yang kedua adalah terjemahan Arab yang dibawa dari Eropa. Pancatantra dalam bahasa Melayu inilah yang kemudian menjadi sumber karya terjemahan dalam berbagai bahasa di Indonesia.
Pancatantra dalam perjalanannya keluar dari India, mengalami beberapa perubahan kecil, baik dari cerita maupun tokohnya. Pancatantra memang menunjukkan bahwa kebaikan tidak selalu menjadi pemenang akhir seperti tampak pada bagian pertama Pancatantra. Pancatantra secara umum mengajarkan kebijaksanaan dalam perjalanan hidup, hubungan dengan lingkungan dan sesame bahkan hingga ke pemerintahan. Oleh karena itu, dalam beberapa terjemahan ada penyesuaian dengan norma atau moral seturut daerah asal penerjemah. Hal itu dapat dilihat pada Kalila dan Dimna dari Persia atau Tantri Kamandaka dari Indonesia. Pancatantra ternyata juga memiliki banyak kesamaan dengan beberapa cerita dongeng lain, seperti Aesop’s Fables, Arabian Night dan Sinbad. Selain itu juga menjadi sumber puisi fabel Jean de La Fontaine.

0 komentar:

Posting Komentar