Pernahkah kita melihat orang yang sulit diajari sesuatu?Pastilah mengesalkan
jika menghadapi orang seperti itu. Tapi tunggu dulu, orang itu belum tentu
tidak mengerti karena mereka memiliki kekurangan untuk memahami, tapi bisa saja
salah kita yang menjelaskan terlalu rumit,terlalu njlimet bahasanya dan lain sebagainya. Lalu bagaimana? Jelaskan
saja menggunakan contoh yang dapat dilihat pada kehidupan sehari-hari! Hal
tentang mengajarkan kebijaksanaan inilah yang diperlihatkan dalam kisah
Panchatantra.
India dikatakan menjadi sumber
cerita fabel dunia. Sumber cerita yang dimaksud mungkin sebagian besar tertulis
dalam Pancatantra, sebuah kumpulan cerita fabel kuno yang mengajarkan kebijaksanaan
kebijaksanaan moral. Hal menarik dari Pancatantra adalah setiap kisah utama
terjalin dari bermacam kisah. Tokoh dalam suatu cerita bisa menceritakan kisah
lain, sehingga mucul kisah dalam kisah. Selain itu juga banyak dijumpai pepatah
atau seloka. Seloka ini adalah
ringkasan moral dari kisah yang telah diceritakan.
Ilustrasi jalinan
kisah dalam Pancatantra
Pancatantra merupakan kumpulan
kisah yang dianggap paling tua. Para ahli memperkirakan kisah-kisah ini
dituliskan pada abad ke 3 sebelum Masehi. Cerita lisan yang beredar di India
Kuno diperkirakan menjadi sumber tulisan Pancatantra. Mulanya Pancatantra dituliskan
dalambahasa India yaitu Sansekerta, namun kemudian menyebar ke segenap penjuru
Dunia. Kini para ahli menemukan bahwa ada 200 versi Pancatantra dan dituliskan
dalam 50 bahasa. Semua itu tersebar dari Indonesia hingga Islandia.
Pancatantra di India terbagi
menjadi 2 versi, yaitu Tantrahyayika dan Tantropakhyana. Tantrahyayika yang tersebar
di India Utara ditulis oleh VIshnusharma, sedangkan Tantropakhyana yang
tersebar di India Selatan ditulis oleh Vasubhaga (Basubaga dalam kisah Tantri
Kamandaka). Pancatantra yang menyebar di Timur Tengah dan Eropa mengikuti versi
Tantrahyayika. Tantrahyayika diawali dengan kisah pendeta yang mengajari tiga
orang pangeran yang dungu. Pengajarannya dibagi menjadi 5 bab : Mitra-bedha
(Retaknya Persahabatan), Mitra-labha (Membina
Persahabatan), Kakolukiyam (Ikhtiar
dan Siasat), Labdhapranasam (Kehilangan
Keberuntungan) serta Apariksitakarakam (Ceroboh).
Tantrahyayika menjadi versi
yang umumnya tersebar di benua Eropa dan Timur Tengah. Burzoy, seorang dokter
Persia adalah orang yang berperan dalam menyebarkan Pancatantra ini. Dia
mengalihbahasakan Pancatantra versi Tantrahyayika dari bahasa Sansekerta ke
dalam bahasa Pahlevi (bahasa yang dipakai di Persia) dengan judul Karataka wa Damanaka. Karataka wa
Damanaka ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani. Penerjemahan
selanjutnya dilakukan oleh Ibn al-Muqaffa, yang menerjemahkan Karataka wa Damanaka menjadi bahasa Arab
dengan judul Kalila wa Dimnah (Kalila wa Dimnah ini menjadi karya prosa
Arab terbaik pertama). Pancatantra versi Arab ini menjadi salah satu pembuka
jalan Pancatantra berkembang ke seluruh penjuru dunia. Kalila wa Dimnah kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa, bahasa
Persia, Melayu, Yunani hingga bahasa Ibrani.
Pancatantra dengan
ilustrasi bergaya Persia
Salah satu bagian
Kalila wa Dimnah
Terjemahan Ibrani mungkin menjadi
salah satu yang terpenting, karena Pancatantra versi Ibrani ini diterjemahkan
oleh John Capua ke dalam bahasa Latin dengan judul Directorium Humanae Vitae pada tahun 1480. Pancatantra gubahan John
Capua ini kemudian mendasari munculnya berbagai versi Eropa, The Fables of Bidpai karya Sir John
merupakan terjemahan Inggris pertama yang menjadi turunan dari terjemahan Latin
John Capua. Jean de la Fontaine yang terkenal dengan puisi hewannya, juga
menerbitkan Pancatantra versinya bernama The
Fables of Bidpai.
Pancatantra dalam
edisi Latin oleh John Capua
Pancatantra yang tersebar ke
bagian Timur(Asia Tenggara) bervariasi. Para ahli meneliti, ada 2 sumber yang menjadi
awal mula penyebaran Pancatantra di Asia Tenggara yaitu Kalila wa Dimnah (versi Arab) dan Tantropākhyāna
(Pancatantra berbahasa Sansekerta dengan gaya India Selatan). Salah satu versi
Melayu merupakan terjemahan dari Kalila wa Dimna yang termasuk versi Tantrahyayika,
dan terjemahan Melayu yang lain, serta dalam beberapa bahasa Asia Tenggara
lainnya mengikuti versi Tantropakhyana. Tantropakhyana cukup berbeda dengan Tantrahyayika
dalam hal jumlah bab, cerita utama dan beberapa kisah di dalamnya. Apabila Tantrahyayika
diawali dengan kisah seorang pendeta yang mengajar pangeran yang bodoh, maka
Tantropakhyana diawali dengan kisah seorang raja yang ingin menikah sepanjang.
Bab yang diceritakan dalam Tantropakhyana hanya 4 dengan judul yang berbeda
dengan Tantrahyayika antara lain Nandakaprakaraṇa (cerita seekor lembu), Maṇḍūkaprakaraṇa (cerita si kodok) , Pakṣiprakaraṇa (cerita para burung), Piśacaprakaraṇa (cerita para pisaca
(semacam raksasa)). Beberapa karya Pancatantra di Asia Tenggara dan terutama
Tantri Kamandaka, memiliki banyak kemiripan dengan versi Tantropakhyana
sehingga para ahli berpendapat kalau Pancatantra Tanropakhyana lah yang menjadi
sumber naskah. Dugaan lain, persebaran versi Tantropakhyana sebagai akibat adanya
hubungan antara kerajaan India di bagian selatan dengan daerah-daerah di Asia
Tenggara, entah dalam misi damai atau invasi.
Ilustrasi Tantri
Kamandaka, versi Jawa Kuno dari Pancatantra Tantropakhyana ( dengan ilustrasi
gaya Bali)
Pancatantra dalam perjalanannya keluar dari India, mengalami beberapa perubahan, baik dari cerita maupun tokohnya. Pancatantra dalam tradisi India termasuk kedalam nitisastra , dalam beberapa terjemahan ada penyesuaian dengan norma atau moral seturut daerah asal penerjemah atau disesuaikan dengan tuntutan religius. Contoh perubahan Pancatantra dapat dilihat pada Kalila wa Dimna dari Arab atau Tantri Kamandaka dari Indonesia. Pada cerita asli Pancatantra bab pertama, cerita selesai saat singa serta lembu mati bertarung sebagai akibat adu domba Damanaka, serigala yang licik dan jahat. Hal seperti ini tentu kurang tepat untuk agama-agama Semit atau budaya Indonesia, sehingga diperlukan penggubahan cerita. Pada Kalila wa Dimna, Muqqafa memasukkan 1 subbab yang menceritakan Damanaka mendapatkan hukuman karena kelicikannya. Tantri Kamandaka berbeda lagi, Sambaddha (nama untuk tokoh serigala yang licik) mengalami nasib yang mengenaskan, bahkan dia masuk neraka.
Akhir cerita dari
Tantri kamandaka
Pancatantra telah menginspirasi
seniman di berbagai jaman dan tempat. Beberpa daerah di India, Sri Lanka dan
Asia tengah ditemukan berbagai macam artifak dengan gambar adegan Pancatantra.
Selain itu, Pancatantra juga menjadi tema
hiasan di candi-candi India, berdampingan dengan Ramayana atau Mahabarata.
Tidak kalah dengan di daerah asalnya, Indonesia juga memiliki hal yang serupa.
Beberapa candi di Indonesia juga memiliki relief berdasarkan Pancatantra (atau
Tantri Kamandaka) seperti candi Mendut, Sojiwan, Jago
(gambar relief dan seni terinspirasi Pancatantra)
Relief SInga
menggigit sapi di candi Sojiwan,Yogyakarta
Relief dari candi di Balligavi , India
Demikian perjalanan panjang kita
mengenal sebuah kumpulan fabel bernilai kebijaksanaan. Kalau orang jaman dahulu
sudah mengenal nilai kebijaksanaan yang setinggi itu, seyogyanya kita juga bisa
belajar dan menjadi lebih bijak(dwi)